lintasberitapemalang - Kabupaten Pemalang membuat "terobosan" dalam proses
penyelenggaraan pilkada di daerah itu, yang pemungutan suaranya akan digelar
27 November mendatang. Langkah itu berupa agenda penyampaian visi dan misi
pasangan calon bupati yang dimasukkan dalam lembaran daerah. Maksudnya,
tentu s
Berbagai kelemahan perekrutan calon oleh parpol sudah banyak diketahui
oleh umum. Proses perekrutan yang menurut undang-undang harus berjalan
demokratis dan transparan, dalam pelaksanaannya sering menyimpang. Calon
tidak diseleksi secara ketat berdasarkan tolok ukur kriteria yang seharusnya,
seperti integritas, kapabilitas, dan akseptabilitasnya. Banyak calon lolos
skrining karena menang dalam tawar menawar besarnya "sumbangan"
kepada partai,
Terjadinya distorsi dalam perekrutan calon oleh partai bisa dilihat
dari gejala-gejalanya. Misalnya, ada calon yang lolos tetapi kemudian tersandung
masalah ijazah pendidikannya. Secara teknis administratif, verifikasi persoalan
ijazah menjadi urusan KPUD. Namun penilaian dan seleksi awal seharusnya
selesai di tingkat penjaringan calon oleh partai.
Gejala lainnya bisa dilihat dari kredibilitas calon yang telah diloloskan
oleh partai, Ada calon kepala daerah yang cacat moral, cacat hukum, dan
cacat sosial. Bila calon ini terpilih sebagai kepala daerah, maka pilkada
menyisakan persoalan di kemudian hari yang penyelesaiannya bisa berlarut-larut.
Kendala lainnya adalah persepsi yang memandang pilkada sebagai ajang
perebutan kekuasaan semata, yakni perebutan jabatan kepala daerah melalui
mekanisme "voting" dari suara pemilih. Persepsi ini akan melahirkan
pemimpin yang hanya populer dan diterima secara luas oleh rakyat di suatu
daerah, namun tidak memiliki kecakapan dan kemampuan dalam mengelola daerah.
Sekalipun kepala daerah adalah jabatan politis dan tidak menuntut keahlian
khusus, kompetensi dan kemampuan manajerial sangat penting.
Bukan berarti akseptabilitas tidak penting. Dalam struktur masyarakat
Indonesia yang masih paternalistik, faktor ini masih menjadi pertimbangan
utama dalam menopang keberhasilan kinerja seorang kepala daerah. Namun
harus diakui, faktor akseptabilitas seringkali rawan distorsi. Misalnya,
ketika praktik politik uang masih sulit diberantas serta jual-beli suara
sulit dideteksi dan bahkan menjadi subur di tengah masyarakat yang masih
krisis ekonomi, akseptabilitas seorang calon menjadi sulit diukur.
Berbeda dengan syarat kompetensi yang tolok ukurnya lebih jelas karena
terkait dengan pendidikan, pengalaman organisasi, dan karier politik seseorang.
Hanya saja, seringkali calon dengan kapabilitas tinggi kalah populer dengan
calon yang memiliki karisma atau calon yang sudah pernah menjabat (incumbent).
Kriteria kualitas pemimpin yang tidak kalah pentingnya dengan akseptabilitas
dan kapabilitas adalah integritas atau kejujuran. Integritas bisa ditelusuri
dari
track record calon yang bersangkutan, apakah dia cukup jujur
dan menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran ataukah culas. Integritas
merupakan modal sosial untuk mengatasi berbagai penyimpangan dalam praktik
pemerintahan dan memotivasi rakyat meraih masa depannya.
Dengan berbagai kriteria itulah rakyat bisa melihat bagaimana kebenaran
visi-misi seorang cabup; apakah dia cukup kredibel untuk mempertanggungjawabkan
janji-janjinya sewaktu kampanye dan bagaimana dia mengimplementasikan program-programnya
setelah terpilih menjadi kepala daerah. Akuntabilitas seorang kepala daerah
bisa dimulai dari pengujian atas visi dan misinya itu. Dari aspek itulah
kita melihat sisi positif langkah para cabup Pemalang. (46)
Berita lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "TEROBOSAN DALAM PENYELENGGARAAN PILKADA"
Posting Komentar